
JAKARTA, KR - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh pengujian Pasal 216 ayat (2), Pasal 216 ayat (3), Pasal 379 ayat (2), Pasal 380 ayat (1), Pasal 380 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda). “Amar Putusan, mengadili: menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam Sidang Pengucapan Putusan Nomor 177/PUU-XXII/2024, pada Jumat (21/03/2025) di Ruang Sidang Pleno MK.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih membacakan pertimbangan hukum putusan tersebut menyebutkan bahwa," Ketentuan norma Pasal 379 ayat (2) dan Pasal 380 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda mengatur terkait pembinaan dan pengawasan yang menjadi kewenangan daerah terhadap perangkat daerah.
"Intinya dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan daerah provinsi, Gubernur dibantu oleh Inspektorat Provinsi, sedangkan Bupati/Walikota berkewajiban melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Perangkat Daerah Kabupaten/Kota yang dibantu oleh Inspektorat Kabupaten/Kota,"Ujar Enny.
Lebih jelas Hakim Konstitusi Enny mengatakan bahwa,"Guna memahami efektivitas pembinaan dan pengawasan dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah terhadap Perangkat Daerah, tidak dapat hanya disandarkan pada norma Pasal 379 ayat (2) serta Pasal 380 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda. Sebab, norma tersebut berkelindan dengan berbagai norma lain dalam UU Pemda yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya," jelasnya.
"Dalam konteks ini," sambung Hakim Konstitusi Enny,"UU Pemda telah merumuskan desain pembinaan dan pengawasan pemerintahan daerah dalam negara kesatuan. Pemerintah Pusat memiliki kewenangan menetapkan kebijakan dasar yang akan menjadi acuan daerah, termasuk dalam hal pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh daerah."
"Oleh karena itu, mekanisme pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi dilakukan oleh pemerintah pusat yang secara nasional dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri,"bebernya.
"Sementara itu," lanjut Enny," Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah sebagai representasi asas dekonsentrasi memiliki kewenangan membina dan mengawasi penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh kabupaten/kota. Dengan kata lain, pengaturan mekanisme dan cakupan pembinaan yang dilakukan secara berjenjang terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi dan daerah Kabupaten/Kota telah diakomodasi dalam Pasal 374 dan Pasal 375 UU Pemda."
"Adapun untuk aspek teknisnya dilakukan pembinaan oleh menteri yang menangani bidang teknis urusan pemerintahan. Bagi daerah Kabupaten/Kota, mekanisme pembinaannya yang dilakukan oleh Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat yang dibantu oleh Perangkat Gubernur, dan pembinaannya mencakup hal yang bersifat umum dan teknis," tandas Hakim Konstitusi.
Peraturan Pelaksana UU Pemda
Lebih jelas Hakim Konstitusi menyebutkan bahwa," Berkenaan dengan pembinaan dan pengawasan ini, telah ditetapkan peraturan pelaksana sesuai amanat Pasal 232 UU Pemda, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (PP 72/2019). Mahkamah berpendapat bahwa PP tersebut dibentuk untuk memperkuat peran dan kapasitas inspektorat daerah agar lebih independen dan objektif dalam mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme," papar Enny.
Dalam kaitan dengan penguatan inspektorat daerah tersebut, telah ditentukan pula secara lebih detail fungsi Inspektorat Daerah yang berbeda dibandingkan dengan fungsi pelaksanaan pengawasan untuk tujuan tertentu atas penugasan dari Gubernur dan/atau Menteri; pelaksanaan koordinasi pencegahan Tindak Pidana Korupsi; dan pengawasan pelaksanaan program reformasi birokrasi.
Sehingga pengawasan oleh Inspektorat Daerah terhadap penyelenggaraan urusan Pemerintahan yang didalilkan para Pemohon tersebut tidak efektif karena telah terjawab dengan adanya tata laksana pembinaan dan pengawasan dalam perubahan peraturan pelaksana UU Pemda.
“Menurut Mahkamah, dalil para Pemohon yang menginginkan agar inspektorat daerah bertanggung jawab langsung kepada Menteri melalui inspektur jenderal kementerian adalah dalil yang tidak berdasar, karena justru mengakibatkan pergeseran mendasar dalam relasi antara pusat dan daerah yang berpotensi mengurangi ruang lingkup otonomi daerah sebagaimana dijamin dalam Pasal 18 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, serta menimbulkan kembali rentang kendali yang birokratis sehingga berpotensi menghambat pelayanan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945,” tandas Hakim Konstitusi Enny.
Penguatan Fungsi Inspektorat Daerah
Terkait dengan penguatan fungsi Inspektorat Daerah ini, Mahkamah perlu menegaskan bahwa kendati perangkat daerah merupakan unsur pembantu kepala daerah yang diisi oleh pegawai aparatur sipil negara, namun dalam menjalankan tugasnya melakukan pembinaan dan pengendalian penataan perangkat daerah dilaksanakan dengan menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplifikasi. Dengan menerapkan penataan demikian, diharapkan perangkat daerah dapat mempercepat tercipta kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan publik yang menjadi bagian dari tujuan otonomi daerah.
“Dengan demikian, dalil para Pemohon yang mempersoalkan norma Pasal 216 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 379 ayat (2), serta Pasal 380 ayat (1) dan ayat (2) UU 23/2014 bertentangan dengan prinsip otonomi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 28C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum,” sebut Hakim Konstitusi Enny terhadap permohonan Selain Arivan Utama, Muhammad Irfan, dan Bambang Sucahyo (para Pemohon).
Lemahnya Pengawasan Pemda Rentan Kepentingan Politik Lokal
Sebagaimana diketahui pada sidang perdana di MK, Jumat (20/12/2024) lalu, para Pemohon menyampaikan pokok-pokok permohonan. Salah satunya terkait Pasal 216 ayat (3) UU Pemda yang menyatakan bahwa, “Inspektorat Daerah dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah,”ujar Pemohon.
Menurut para Pemohon norma Pasal 216 ayat (3) UU Pemda tersebut tidak terdapat kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, karena Inspektorat Daerah dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Kepala Daerah.
"Terlebih lagi Inspektorat Daerah yang berada di bawah kewenangan langsung Kepala Daerah tersebut berpotensi pada pengaruhnya yang kuat atas kepentingan politik lokal dan dapat pula menghambat pemberantasan korupsi di daerah," beber Pemohon.
Diakui para Pemohon, meskipun Pasal 8 ayat (3) UU Pemda telah mengamanatkan fungsi pengawasan internal pemerintah daerah melalui inspektorat yang berada di bawah naungan Kementerian Dalam Negeri.
"Akan tetapi kedudukan Inspektorat Daerah yang tidak independen dengan bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah, berakibat pada lemahnya efektivitas pengawasan," pungkas para Pemohon.
(Sri Pujianti,Nurjanah,Lulu) KR 
